Rabu, September 26, 2007

Ramadhan, Ketika TV Memperalat Agama

Kiranya benar aforisma Mc Luhan yang menyatakan bahwa medium is message, media adalah pembawa pesan. Bahkan, kini media itu sendiri juga merupakan pesan yang hendak dikomunikasikan pada publik. Sehingga, bentuk komunikasi itu sendiri menentukan isi dari komunikasi. Fenomena medium is message, tampak jelas dari TV sebagai media sekaligus pesan itu sendiri. Artinya, TV bukan sekedar produk teknologi yang bebas nilai, tetapi alat untuk mencapai kepentingan tertentu.

TV sebagai pembawa pesan dan pesan itu sendiri, tentunya membawa pesan dari pemilik TV. Ini dapat kita saksikan dari, maraknya tayangan religi selama ramadhan yang dipertunjukkan TV kita yang tidak lain merupakan bagian dari kepentingan bisnis belaka.

Tayangan-tayangan religi yang disiarkan hampir semua TV, merupakan upaya TV untuk memberikan pesan tertentu agar menarik perhatian pemirsa. Sehingga, pemirsa dengan sendirinya akan menonton TV. Tayangan religi diproduksi sebagai magnet yang menarik pemirsa yang sedang menjalankan puasa untuk menonton TV.

Dengan banyaknya pemirsa yang tersihir dengan tayangan religius dari TV, maka secara otomatis rating dari TV akan meningkat. Peningkatan rating pada gilirannya akan mendatangkan iklan-iklan untuk berpartisipasi dalam TV yang banyak di tonton. Dengan datangnya Iklan tentunya memberikan sumber pemasukan besar bagi TV.

Padahal, rating TV tidak ada hubungannya dengan religiusitas penonton selama ramadhan. Namun, TV mampu memanfaatkan celah ramadhan sebagai lahan bisnis yang sangat menggiurkan guna mendapatkan pemasukan dengan menjual produk-produk berlatar belakang agama.

Ramadhan merupakan momentum paling pas bagi TV untuk menampilkan sebanyak-banyaknya tayangan-tayangan religi. Tidak peduli bermakna atau tidak, TV-TV kita berubah menjadi sangat sopan dan alim dengan senantiasa mengelar tayangan religi dari dini hari menjelang saur hingga waktu berbuka tiba.

Dari sebelumnya, mempertontonkan acara-acara yang sifatnya sekuler berubah dengan penayangan penuh acara yang bernuansa agama. Saat ramadhan tiba tidak lagi kita temukan, pakaian-pakaian minim memamerkan lekuk dan keindahan tubuh bergentayangan dalam TV kita. Akan tetapi, selama ramadhan, kita akan banyak disuguhi penampilan artis-artis kita yang berkerudung dan berpeci memakai pakaian tertutup.

Namun, sayangnya kesalehan TV kita hanya akan bertahan selama satu bulan selama ramadhan saja. Setelah ramadhan selesai, semua kembali pada habitatnya yang asli. Kembali menyesuaikan dengan aktivitas sebelum ramadhan. Tidak ada satu TV setelah ramadhan akan bertahan dengan model-model acara yang mengusung tema-tema religi.

Seolah ada kesalehan instan yang hendak di inginkan dari tayangan-tayangan TV-TV tersebut. Realitas ini sebenarnya, menggambarkan bagaimana TV memanfaatkan agama demi proyek komersialisasi karena momentum yang tepat. Selama ramadhan acara-acara TV di desain dengan warna-warni keagamaan, demi mengejar dan menyelaraskan dengan identitas kesucian bulan ini.

Padahal, kesalehan akan terbentuk melalui komunikasi yang intens dengan ilahi, tidak sekedar momentum jangka pendek. Dan melalui berbagai ragam tayangan bernuansa keagamaan saja. Apalagi tayangan-tayangan agama selama ramadhan ini oleh TV-TV kita, tidak lebih hanya demi kepentingan finansial untuk mendapatkan laba.

Tayangan religi yang diakomodir dan digelontorkan tanpa idealisme selama ramadhan dan hanya ala kadarnya dalam jangka waktu yang pendek memberikan makna bahwa tayangan agama telah ditunggangi para pemilik modal demi kepentingan bisnis pertelevisian. Penayangan acara religi yang seharusnya memberikan dampak spiritualitas pada pemirsa hanya dikemas dalam bentuk hiburan sebagai bisnis pertunjukkan.

Banyaknya tayangan religi terbukti tidak memberikan efek apa-apa terhadap pemirsanya. Pemirsa TV hanya merasa terhibur dengan tayangan religi, tanpa mendapatkan makna yang mendalam dari tayangan tersebut. Sebab, penayangan acara religi mengusung nilai agama oleh para pemilik modal hanya dipergunakan mengejar dan mencari keuntungan bisnis.

Agama hanya dijadikan tameng bisnis oleh para pemilik TV, agar TV-nya tetap diminati oleh para pemirsanya. Selama ramadhan, seluruh TV yang ada berubah menjadi sangat religius, tidak ada satupun TV yang tetap mempertahankan format penyiarannya seperti sebelum ramadhan. Memasuki bulan ramadhan, mereka membalut tayangan dengan kentalnya aspek-aspek keagamaan.

Karenanya, satu-satunya jalan paling baik agar tidak terjebak dalam komersialisasi agama saat ramadhan melalui tayangan-tayangan TV. Hendaknya kita juga layak untuk berpuasa dari menonton TV guna menyelamatkan kebiadaban kapitalisme berjubah media.

Artikel ini di kutip dari Ahan Syahrul Arifin, www.eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Design Header by:
Parta Suwanda