Rabu, September 26, 2007

Ibu Tua Penjual Makanan dan Lelaki Pengemis

Ibu tua penjual makanan ringan. Di bawah terik, berjalan... berjalan... payah menjajakan dagangan. Berharap ada yang membeli. Berharap ada yang sudi memberikannya sedikit rezeki halal. Bukan mengemis. Bukan merengek meminta-minta....

Terenyuh.

Benar-benar terenyuh.

Wanita luar biasa? Betul, itu tidak bisa dipungkiri. Saya melihatnya sendiri. Senja di raut wajahnya, dua kakinya yang kurus, pakaian lusuh apa adanya. Mata saya sejenak tertegun menatapnya. Bagaimana mungkin wanita seperti ia mampu berjalan merentas kota demi mencari sesuap nasi?

Ah, bukan! Bukan sesuap nasi, tapi sepiring, dua piring, atau mungkin tiga piring. Dia mungkin tengah mencari nasi untuk cucu-cucunya. Mungkin untuk anaknya yang lumpuh atau tidak bisa mencari uang sendiri karena sesuatu hal. Mungkin... mungkin....

"Permisiii!" lelaki itu menampakkan wajahnya di warteg. Masih terlihat kuat, muda, dan punya potensi untuk seperti orang-orang lain. Jadi kuli. Jadi tekhnisi. Jadi supir. Jadi apa saja. Tapi, di antara semua pekerjaan mulia, dia memilih untuk menengadahkan tangannya. Meminta uang. Mengemis belas kasihan orang-orang. Jangankan iba, tidak jijik saja sudah syukur melihatnya.

Teringat si ibu penjual makanan ringan.Demi Allah saya bersumpah: lelaki itu bukan kakek-kakek. Dan... dia itu laki-laki! Bukan perempuan.Sekali lagi: bukan perempuan! Lalu, kenapa dia tidak lebih membanggakan dari si ibu penjual makanan?

Itu pertanyaan yang harus dijawab lelaki pengemis. Kenapa dia jadi pengemis? Kenapa dia tidak sedikit pun memiliki harga diri?

***

Mencari nafkah adalah kemuliaan tersendiri. Dia memiliki porsi pahalanya tersendiri di sisi Allah. Setiap muslim harus mencari jalan untuk menghasilkan uang dengan halal. Itu harus, bukan pilihan. Mengemis? Itu tidak termasuk hitungan. Bagaimana mungkin muslim selalu mengemis uang pada orang lain? Bukankah otot masih ada? Bukankah tenaga masih ada? Bukankah ajal belum datang? Bukankah ada harga diri yang harus diperjuangkan harganya di depan peradaban?

Saya belajar dari si ibu tua. Setua itu masih sanggup dan terus mencari nafkah yang halal. Banyak cara, banyak kesempatan. Di dunia ini, satu hal yang bisa kita percaya sama-sama:rezeki kita tidak akan habis sebelum kita mati. Ajal baru akan datang ketika daftar rezeki kita sudah habis.

Tidak perlu takut kekurangan rezeki.

Tidak perlu takut mati karena tidak kebagian rezeki.

Semua makhluk hidup sudah punya jatahnya masing-masing. Tidak akan tertukar. Tidak akan terserobot makhluk lain. Karena itu, untuk apa kita ribut masalah rezeki besar atau kecil. Lebih baik pikirkan saja dengan cara yang mana kita mencari rezeki. Sebab, itu adalah tanggung jawab kita. PertanyaanAllah di akhirat nanti.

Halal atau tidak?

Terhormat atau tidak?

Tentukanlah. Jawablah. Waktu kita tidak lama....

Oleh: Ai Januaraffa

Tidak ada komentar:

Design Header by:
Parta Suwanda