Kamis, September 27, 2007

Mengenang 80-an


Skinny Jeans, dengerin iPod, ngeblog dan menggunakan kata hubung konjungtif 'secara', secara berlebihan. Itu adalah kenistaan kita-kita yang tumbuh di jaman 2000-an. Tapi biarlah itu kita ketawakan 20 tahun lagi. Sekarang adalah giliran kita mentertawakan tahun 80-an.

Masih ingat serial Losmen, covergirl majalah Mode, dan JK Records? Semuanya terangkum di sebuah blog tentang tahun 80-an, yang diberi nama... blog 80-an.

Walaupun dipenuhi berbagai keterbatasan serta propaganda pemerintah, tahun 80-an—kalau dirasa-rasain—kok menyenangkan ya?

Dah ah, mo ke rental video... errrr... mo browsing ke YouTube dulu!

Sumber: Hermansaksono.blogspot.com

Kenapa kita berkendaran di kiri jalan?


"Repot sekali, mau naik motor aja harus di lajur kiri", gerutu seorang pengendara motor yang baru saja ditilang Rp 30 ribu. Siapa sih yang iseng banget bikin aturan seperti ini?

Mari kita runut.

Di jaman Inggris kuno, para ksatria suka naik kuda. Berhubung para ksatria tidak kidal, maka pedang selalu dipegang tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Nah, karena perisai dipegang tangan kiri, untuk melindungi dada ketika hendak naik kuda, mereka selalu dari naik-turun dari sisi kiri kuda. Selain itu, kalau lagi asyik kuda-kudaan lalu si ksatria diserang, berduel di sisi kiri jalan jauh lebih enak. Kebiasaan ini lama-lama diundangkan dan menjadi aturan formal. Adat ini juga diadopsi oleh negara-negara Eropa lain.

Di Jepang ada sejarahnya sendiri. Di jaman Edo, samurai Jepang punya adat untuk berkuda di kiri jalan untuk mencegah dua samurai yang saling berpapasan brantem gara-gara kedua pedang mereka bersenggolan (PMS?). Akan tetapi, pada masa itu penduduk non-samurai tetap saja berkuda di sembarang sisi jalan. Pembakuan aturan berkendaraan di sebelah kiri baru muncul setelah kereta api dari Inggris mulai masuk ke negeri mungil seribu gempa nan-kaya itu.

Amerika lain lagi. Karena semula koloni Inggris, orang Amerika berkuda di kiri jalan. Akan tetapi, saking sakit-hatinya sama Inggris, penduduk Amerika berusaha menanggalkan citra koloni Inggris. Antara lain, mereka memutuskan untuk berkuda di kanan jalan. Pindah ke kanan konon juga untuk menghormati Perancis yang telah membacking perang melawan Inggris.

Perancis?

Jadiii... bangsawan Perancis itu aslinya juga berkuda di kiri jalan. Tetapi setelah revolusi Perancis, untuk melawan kemapanan, orang Perancis banting haluan ke kanan jalan. Napolen yang pada masa pemerintahannya mengekspansi Perancis ke negara-negara Eropa turut menyebarkan kebiasaan ini. Walhasil, negara yang disatroni Perancis seperti Belanda juga ketularan berkendaraan di kanan jalan.

Kalau orang Belanda berkanan-jalan, kenapa kita berkiri jalan? Ternyata, walaupun Belanda memang dikuasai Perancis pada tahun 1795, sejak tahun 1602 Belanda (yang waktu itu masih di sebelah kiri) sudah menjajah Indonesia dan terlanjur menularkan kebiasaan berkiri jalan. Rupanya benar juga kalau old habit die hard.

Fyuff... sekian, factoid hari ini kita cukupkan sampai sini.

artikel ini diambil dari Hermansaksono.blogspot.com

Rabu, September 26, 2007

Bercita-Citalah...

Bismillah...

"Kalau kita memulai langkah dengan rasa takut, maka sebenarnya kita tidak pernah melangkah... " (A. H. Nayyar, ph. D, Presiden Pakistan Peace Coalition).

Tidak sedikit manusia yang tidak memiliki cita-cita, pesimis menjalani hidup, "pasrah" dalam menjalani dan menerima hidup. Tak sedikit pula manusia yang banyak bermimpi, berkhayal dan selalu berandai-andai tanpa usaha untuk mencapai apa yang diimpikannya.

Tidak semata-mata Allah SWT. Menciptakan manusia tanpa tujuan dan harapan. Ketika manusia mulai lahir dan menghirup hawa dunia, maka ketika itulah manusia harus siap menerima dan menunaikan amanah Allah di muka bumi ini. Dalam hidup ada mega proyek yang harus dicapai oleh manusia, teruslah mencoba untuk melangkah setahap demi setahap hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan dan keberkahan tujuan kita. Ia adalah cita-cita.

Cita-cita merupakan energi dan motivasi, bukan obsesi tak terkendali. Ia merupakan perencanaan yang terorganisir dan tersusun rapih bukan khayalan menggunung, meluap dalam lautan hidup dan hanya sekedar buih. Ia adalah ruh yang dapat membangkitkan kemalasan menjadi kreatifitas, sikap pesimis menjadi optimis, kelemahan menjadi kekuatan. Ia adalah "motor" yang dapat mensinergiskan ikhtiar dan doa, ruh, jasad dan akal untuk senantiasa bekerjasama dalam mewujudkan tujuan.

Jangan takut untuk memiliki cita-cita, karena ia akan menggerakkan jasad untuk aktif dan enerjik, akal untuk kreatif dan inovatif, jiwa dan ruh untuk senantiasa dekat pada Rabbnya. Cita-citalah yang telah membuat seorang Imam Ahmad bertahan terhadap cambukan penguasa tirani dalam mempertahankan keyakinannya bahwa al-Qur`an itu bukan makhluk, cita-cita pula yang telah membuat seorang ibu melimpahkan kasih sayang terhadap anaknya, senantiasa memenuhinya dengan doa dan cinta.

Jangan takut untuk bercita-cita meski dalam keadaan sulit dan terhimpit, lemah dan tak berdaya. Tetap kuatkan dan bulatkan tekad dalam diri untuk mencapai cita-cita besar, yang akan bermuara pada samudera tawakkal. Adalah Rasulullah SAW. Dan kaum muslimin yang bersamanya, tetap memiliki cita-cita besar dan agung meski beliau dalam keadaan lemah dan sulit. Dalam peristiwa perang Khandaq, pasukan muslimin hanya berjumlah 3000 sedangkan pasukan kafir berjumlah 10. 000. Namun, keadaan itu tidak membuat pasukan muslimin lemah dan putus asa, malah sebaliknya, kelemahan dan kekurangan itu dapat menjadi kekuatan dan memicu kaum muslimin untuk berfikir kreatif. Akhirnya ide cemerlang muncul dari seorang Salman al-Farisi tentang strategi parit.

Bahkan disisi lain, ketika Rasulullah sedang membuat parit, beliau mengungkapkan cita-cita besarnya, hal ini diceritakan oleh al-Barra`. Ia Berkata, "Saat menggali parit, di beberapa tempat kami terhalang oleh tanah yang sangat keras dan tidak bisa digali dengan cangkul. Kami melaporkan hal ini kepada Rasulullah SAW. Beliau datang, mengambil cangkul dan bersabda, "Bismillah... ", kemudian menghantam tanah yang keras itu dengan sekali hantaman. Beliau bersabda, "Allah Maha Besar, aku diberi kunci-kunci Syam. Demi Allah aku benar-benar bisa melihat istana-istananya yang bercat merah saat ini. " Lalu beliau menghantam untuk yang kedua kalinya bagian tanah yang lain. Beliau bersabda lagi, "Allah Maha Besar, aku diberi tanah Persi. Demi Allah saat ini pun aku bisa melihat istana Mada`in yang bercat putih. " Kemudian beliau menghantam untuk yang ketiga kali dan bersabda, "Bismillah... ", maka hancurlah tanah dan batu yang masih menyisa. Kemudian beliau bersabda, "Allah Maha Besar, aku diberi kunci-kunci Yaman. Demi Allah dari tempatku ini aku bisa melihat pintu-pintu gerbang Shan`a.."

Meskipun cita-cita dan harapan Rasulullah SAW. Belum terealisasi ketika beliau masih hidup, namun cita-cita yang terungkapkan dan tervisualisasikan telah membakar semangat juang kaum muslimin dan endingnya ialah kaum muslimin memenangkan perang Khandaq dan cita-cita Rasulullah SAW. Terealisasi ketika masa kekhalifahan Umar bin Khatthab. Maha Besar Allah.

Saudaraku... Bercita-citalah....
Bercita-citalah menjadi hamba Allah yang ta`at dan "Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya... "

Bercita-citalah menjadi hamba Allah yang ikhlas, tawakkal dan sabar dalam menjalani setiap fase hidup....

Bercita-citalah menjadi seorang anak yang sholih, orang tua yang bijak dan adil, suami atau isteri yang memiliki limpahan kasih sayang pada setiap anggota keluarga, murid yang sholih dan penuh prestasi, guru yang dapat menjadi teladan bagi anak didiknya.

Bercita-citalah memiliki keluarga yang penuh kasih sayang, saling pengertian dan mengingatkan dalam kebaikan, dan senantiasa ada dalam suasana Islami.

Bercita-citalah menjadi karyawan yang jujur dan berprestasi, pempimpin yang adil dan penuh kasih terhadap bawahan, direktur yang rendah hati, senantiasa tawadhu` dan kona`ah.

Bercita-citalah memiliki ketenangan jiwa, keteguhan hati dan kepercayaan diri sehingga dapat dengan tulus mempercayai orang lain dan mendapat kepercayaan yang baik.

Bercita-citalah dibebaskan hati ini dari segala penyakit hati, iri, dengki, hasud, prasangka buruk, sombong, takabbur, bangga pada diri sendiri...

Bercita-citalah memiliki pekerjaan yang layak, hasil yang berkah serta menjadi seorang hartawan yang dermawan.
Bercita-citalah untuk masuk syurga dan terhindar dari api neraka....

Dan.pada akhirnya bercita-citalah agar Allah mengambilkan kita dalam keadaan yang baik. Khusnul khatimah...

"Kini jiwa ini merindukan syurga... " (Umar bin Abdul `Aziz)

Setitik hikmah dari samudera hikmah.

Wasanawati et yahoo dot com


Oleh Ina Mahardhika


Ibu Tua Penjual Makanan dan Lelaki Pengemis

Ibu tua penjual makanan ringan. Di bawah terik, berjalan... berjalan... payah menjajakan dagangan. Berharap ada yang membeli. Berharap ada yang sudi memberikannya sedikit rezeki halal. Bukan mengemis. Bukan merengek meminta-minta....

Terenyuh.

Benar-benar terenyuh.

Wanita luar biasa? Betul, itu tidak bisa dipungkiri. Saya melihatnya sendiri. Senja di raut wajahnya, dua kakinya yang kurus, pakaian lusuh apa adanya. Mata saya sejenak tertegun menatapnya. Bagaimana mungkin wanita seperti ia mampu berjalan merentas kota demi mencari sesuap nasi?

Ah, bukan! Bukan sesuap nasi, tapi sepiring, dua piring, atau mungkin tiga piring. Dia mungkin tengah mencari nasi untuk cucu-cucunya. Mungkin untuk anaknya yang lumpuh atau tidak bisa mencari uang sendiri karena sesuatu hal. Mungkin... mungkin....

"Permisiii!" lelaki itu menampakkan wajahnya di warteg. Masih terlihat kuat, muda, dan punya potensi untuk seperti orang-orang lain. Jadi kuli. Jadi tekhnisi. Jadi supir. Jadi apa saja. Tapi, di antara semua pekerjaan mulia, dia memilih untuk menengadahkan tangannya. Meminta uang. Mengemis belas kasihan orang-orang. Jangankan iba, tidak jijik saja sudah syukur melihatnya.

Teringat si ibu penjual makanan ringan.Demi Allah saya bersumpah: lelaki itu bukan kakek-kakek. Dan... dia itu laki-laki! Bukan perempuan.Sekali lagi: bukan perempuan! Lalu, kenapa dia tidak lebih membanggakan dari si ibu penjual makanan?

Itu pertanyaan yang harus dijawab lelaki pengemis. Kenapa dia jadi pengemis? Kenapa dia tidak sedikit pun memiliki harga diri?

***

Mencari nafkah adalah kemuliaan tersendiri. Dia memiliki porsi pahalanya tersendiri di sisi Allah. Setiap muslim harus mencari jalan untuk menghasilkan uang dengan halal. Itu harus, bukan pilihan. Mengemis? Itu tidak termasuk hitungan. Bagaimana mungkin muslim selalu mengemis uang pada orang lain? Bukankah otot masih ada? Bukankah tenaga masih ada? Bukankah ajal belum datang? Bukankah ada harga diri yang harus diperjuangkan harganya di depan peradaban?

Saya belajar dari si ibu tua. Setua itu masih sanggup dan terus mencari nafkah yang halal. Banyak cara, banyak kesempatan. Di dunia ini, satu hal yang bisa kita percaya sama-sama:rezeki kita tidak akan habis sebelum kita mati. Ajal baru akan datang ketika daftar rezeki kita sudah habis.

Tidak perlu takut kekurangan rezeki.

Tidak perlu takut mati karena tidak kebagian rezeki.

Semua makhluk hidup sudah punya jatahnya masing-masing. Tidak akan tertukar. Tidak akan terserobot makhluk lain. Karena itu, untuk apa kita ribut masalah rezeki besar atau kecil. Lebih baik pikirkan saja dengan cara yang mana kita mencari rezeki. Sebab, itu adalah tanggung jawab kita. PertanyaanAllah di akhirat nanti.

Halal atau tidak?

Terhormat atau tidak?

Tentukanlah. Jawablah. Waktu kita tidak lama....

Oleh: Ai Januaraffa

Ramadhan, Ketika TV Memperalat Agama

Kiranya benar aforisma Mc Luhan yang menyatakan bahwa medium is message, media adalah pembawa pesan. Bahkan, kini media itu sendiri juga merupakan pesan yang hendak dikomunikasikan pada publik. Sehingga, bentuk komunikasi itu sendiri menentukan isi dari komunikasi. Fenomena medium is message, tampak jelas dari TV sebagai media sekaligus pesan itu sendiri. Artinya, TV bukan sekedar produk teknologi yang bebas nilai, tetapi alat untuk mencapai kepentingan tertentu.

TV sebagai pembawa pesan dan pesan itu sendiri, tentunya membawa pesan dari pemilik TV. Ini dapat kita saksikan dari, maraknya tayangan religi selama ramadhan yang dipertunjukkan TV kita yang tidak lain merupakan bagian dari kepentingan bisnis belaka.

Tayangan-tayangan religi yang disiarkan hampir semua TV, merupakan upaya TV untuk memberikan pesan tertentu agar menarik perhatian pemirsa. Sehingga, pemirsa dengan sendirinya akan menonton TV. Tayangan religi diproduksi sebagai magnet yang menarik pemirsa yang sedang menjalankan puasa untuk menonton TV.

Dengan banyaknya pemirsa yang tersihir dengan tayangan religius dari TV, maka secara otomatis rating dari TV akan meningkat. Peningkatan rating pada gilirannya akan mendatangkan iklan-iklan untuk berpartisipasi dalam TV yang banyak di tonton. Dengan datangnya Iklan tentunya memberikan sumber pemasukan besar bagi TV.

Padahal, rating TV tidak ada hubungannya dengan religiusitas penonton selama ramadhan. Namun, TV mampu memanfaatkan celah ramadhan sebagai lahan bisnis yang sangat menggiurkan guna mendapatkan pemasukan dengan menjual produk-produk berlatar belakang agama.

Ramadhan merupakan momentum paling pas bagi TV untuk menampilkan sebanyak-banyaknya tayangan-tayangan religi. Tidak peduli bermakna atau tidak, TV-TV kita berubah menjadi sangat sopan dan alim dengan senantiasa mengelar tayangan religi dari dini hari menjelang saur hingga waktu berbuka tiba.

Dari sebelumnya, mempertontonkan acara-acara yang sifatnya sekuler berubah dengan penayangan penuh acara yang bernuansa agama. Saat ramadhan tiba tidak lagi kita temukan, pakaian-pakaian minim memamerkan lekuk dan keindahan tubuh bergentayangan dalam TV kita. Akan tetapi, selama ramadhan, kita akan banyak disuguhi penampilan artis-artis kita yang berkerudung dan berpeci memakai pakaian tertutup.

Namun, sayangnya kesalehan TV kita hanya akan bertahan selama satu bulan selama ramadhan saja. Setelah ramadhan selesai, semua kembali pada habitatnya yang asli. Kembali menyesuaikan dengan aktivitas sebelum ramadhan. Tidak ada satu TV setelah ramadhan akan bertahan dengan model-model acara yang mengusung tema-tema religi.

Seolah ada kesalehan instan yang hendak di inginkan dari tayangan-tayangan TV-TV tersebut. Realitas ini sebenarnya, menggambarkan bagaimana TV memanfaatkan agama demi proyek komersialisasi karena momentum yang tepat. Selama ramadhan acara-acara TV di desain dengan warna-warni keagamaan, demi mengejar dan menyelaraskan dengan identitas kesucian bulan ini.

Padahal, kesalehan akan terbentuk melalui komunikasi yang intens dengan ilahi, tidak sekedar momentum jangka pendek. Dan melalui berbagai ragam tayangan bernuansa keagamaan saja. Apalagi tayangan-tayangan agama selama ramadhan ini oleh TV-TV kita, tidak lebih hanya demi kepentingan finansial untuk mendapatkan laba.

Tayangan religi yang diakomodir dan digelontorkan tanpa idealisme selama ramadhan dan hanya ala kadarnya dalam jangka waktu yang pendek memberikan makna bahwa tayangan agama telah ditunggangi para pemilik modal demi kepentingan bisnis pertelevisian. Penayangan acara religi yang seharusnya memberikan dampak spiritualitas pada pemirsa hanya dikemas dalam bentuk hiburan sebagai bisnis pertunjukkan.

Banyaknya tayangan religi terbukti tidak memberikan efek apa-apa terhadap pemirsanya. Pemirsa TV hanya merasa terhibur dengan tayangan religi, tanpa mendapatkan makna yang mendalam dari tayangan tersebut. Sebab, penayangan acara religi mengusung nilai agama oleh para pemilik modal hanya dipergunakan mengejar dan mencari keuntungan bisnis.

Agama hanya dijadikan tameng bisnis oleh para pemilik TV, agar TV-nya tetap diminati oleh para pemirsanya. Selama ramadhan, seluruh TV yang ada berubah menjadi sangat religius, tidak ada satupun TV yang tetap mempertahankan format penyiarannya seperti sebelum ramadhan. Memasuki bulan ramadhan, mereka membalut tayangan dengan kentalnya aspek-aspek keagamaan.

Karenanya, satu-satunya jalan paling baik agar tidak terjebak dalam komersialisasi agama saat ramadhan melalui tayangan-tayangan TV. Hendaknya kita juga layak untuk berpuasa dari menonton TV guna menyelamatkan kebiadaban kapitalisme berjubah media.

Artikel ini di kutip dari Ahan Syahrul Arifin, www.eramuslim.com

Selasa, September 25, 2007

Berapa lama kita di kubur ?

Awan sedikit mendung, ketika kaki kaki kecil Yani berlari-lari gembira di atas jalanan menyeberangi kawasan lampu merah Karet.

Baju merahnya yg Kebesaran melambai Lambai di tiup angin. Tangan kanannya memegang Es krim sambil sesekali mengangkatnya ke mulutnya untuk dicicipi, sementara tangan kirinya mencengkram Ikatan sabuk celana ayahnya.

Yani dan Ayahnya memasuki wilayah pemakaman umum Karet, berputar sejenak ke kanan & kemudian duduk Di atas seonggok nisan "Hj Rajawali binti Muhammad 19-10-1915:20- 01-1965"

"Nak, ini kubur nenekmu mari Kita berdo'a untuk nenekmu" Yani melihat wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya yg mengangkat ke atas dan ikut memejamkan mata seperti ayahnya. Ia mendengarkan ayahnya berdo'a untuk Neneknya...

"Ayah, nenek waktu meninggal umur 50 tahun ya Yah." Ayahnya mengangguk sembari tersenyum, sembari memandang pusara Ibu-nya.

"Hmm, berarti nenek sudah meninggal 42 tahun ya Yah..." Kata Yani berlagak sambil matanya menerawang dan jarinya berhitung. "Ya, nenekmu sudah di dalam kubur 42 tahun ... "

Yani memutar kepalanya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana . Di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut "Muhammad Zaini: 19-02-1882 : 30-01-1910"

"Hmm.. Kalau yang itu sudah meninggal 106 tahun yang lalu ya Yah", jarinya menunjuk nisan disamping kubur neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk. Tangannya terangkat mengelus kepala anak satu-satunya. "Memangnya kenapa ndhuk ?" kata sang ayah menatap teduh mata anaknya. "Hmmm, ayah khan semalam bilang, bahwa kalau kita mati, lalu di kubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa dineraka" kata Yani sambil meminta persetujuan ayahnya. "Iya kan yah?"

Ayahnya tersenyum, "Lalu?"

"Iya .. Kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa 42 tahun dong yah di kubur? Kalau nenek banyak pahalanya, berarti sudah 42 tahun nenek senang dikubur .... Ya nggak yah?" mata Yani berbinar karena bisa menjelaskan kepada Ayahnya pendapatnya.

Ayahnya tersenyum, namun sekilas tampak keningnya berkerut, tampaknya cemas ..... "Iya nak, kamu pintar," kata ayahnya pendek.

Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah Di atas sajadahnya, memikirkan apa yang dikatakan anaknya... 42 tahun hingga sekarang... kalau kiamat datang 100 tahun lagi...142 tahun disiksa .. atau bahagia dikubur .... Lalu Ia menunduk ... Meneteskan air mata...

Kalau Ia meninggal .. Lalu banyak dosanya ...lalu kiamat masih 1000 tahun lagi berarti Ia akan disiksa 1000 tahun?

Innalillaahi WA inna ilaihi rooji'un .... Air matanya semakin banyak menetes, sanggupkah ia selama itu disiksa? Iya kalau kiamat 1000 tahun ke depan, kalau 2000 tahun lagi? Kalau 3000 tahun lagi? Selama itu ia akan disiksa di kubur. Lalu setelah dikubur? Bukankah Akan lebih parah lagi?

Tahankah? padahal melihat adegan preman dipukuli massa ditelevisi kemarin ia sudah tak tahan?

Ya Allah... Ia semakin menunduk, tangannya terangkat, keatas bahunya naik turun tak teratur.... air matanya semakin membanjiri jenggotnya

Allahumma as aluka khusnul khootimah.. berulang Kali di bacanya DOA itu hingga suaranya serak ... Dan ia berhenti sejenak ketika terdengar batuk Yani.

Dihampirinya Yani yang tertidur di atas dipan Bambu. Di betulkannya selimutnya. Yani terus tertidur.... tanpa tahu, betapa sang bapak sangat berterima kasih padanya karena telah menyadarkannya arti sebuah kehidupan... Dan apa yang akan datang di depannya...

"Yaa Allah, letakkanlah dunia ditanganku, jangan Kau letakkan dihatiku..."

Artikel ini saya dapat dari sebuah milis email "thanks a lot untuk penulis artikel ini saya tidak tahu siapa penulis pertama artikel ini dan sungguh sangat bermanfaat buat kita semua yang membacanya"

Jangan Ragu dengan Rezeki Allah

Saya mau pergi ke rumah orang tua saya. Waktu itu, anak saya yang masih berumur lima tahun dan menjelang sekolah TK itu menangis ingin ikut. Awalnya saya tidak berencana untuk membawa dia, namun karena tangisnya tidak mau berhenti, akhirnya saya ajak juga.

Sebelum berangkat, dia saya beri janji. Agar selama perjalanan nanti jangan jajan. Sebab saya sedang tidak punya uang. Saya hanya ada uang untuk ongkos berangkat ke rumah orang tua saya saja. Selebihnya saya tidak punya apa-apa.

Namun, yang namanya anak, walaupun sudah berjanji tidak jajan, begitu melihat berbagai macam barang di pingiran terminal, keinginannya mendadak bangkit. Pertama ia melihat berjejernya para pedagang pakaian. Ia minta dibelikan kaos ala pemain bola dunia. Ia memaksa saya untuk membeli kaos yang bertuliskan salah satu pemain sepak bola Inggris, Beckam. Namun tidak saya kabulkan. Karena saya tidak punya uang untuk itu.

Dengan berbagai cara, ia saya hibur agar tidak minta kaos-kaos itu. Ia segera saya bawa ke tempat di mana banyak berjejer delman. Sebab dengan begitu ia akan lupa karena melihat banyak kuda di situ. Namun sial, ternyata di kompleks itu juga ada pedagang buah yang begitu menarik menata dagangannya. Ia minta dibelikan apel. Permintaan itupun tidak saya kabulkan. Sekedar untuk menghibur dia, saya bisikan kalimat padanya. “Sabar ya… nanti di rumah nenek ada apel.”

Cepat-cepat saya bawa anak saya ke tempat bis jurusan daerah orang tua saya. Ia segera saya ajak naik, dan duduk di depan sendiri, di samping sang sopir. Ia agak terhibur, karena banyak berlalu lalang truk gandeng dan kendaraan tangki pertamina yang besar-besar itu. Sebab ia sangat senang kalau melihat kendaraan besar semacam itu.

Saya lega. Saya lebih tenang karena sudah tidak akan melewati pasar lagi. Dengan demikian anak saya tidak akan minta jajan lagi. Saya duduk sambil merangkul anak saya. Dia begitu nikmat melihat lalu lalangnya kendaraan di depan kami. Ia sudah lupa dengan apa-apa yang ia minta di sepanjang perjalaan tadi

Sebenarnya saya juga merasa kasihan. Seandainya saya punya uang cukup, tentu saya tidak akan berbuat sekejam itu. Tentu saya akan menuruti kehendaknya, walaupun mungkin tidak semua saya turuti. Orang tua mana sih yang tidak ingin memberikan sesuatu kepada anaknya?

Sedang asyik-asyiknya, kami menikmati berbagai macam kendaraan di depan bis yang kami tumpangi, tiba-tiba seorang ibu naik dan duduk persis di sebelah saya. Sebuah keranjang kecil berisi berbagai macam barang dari pasar ada dalam keranjang tersebut.

Kami saling berbasa-basi. Ternyata ia satu jurusan dengan saya. Beberapa menit sebelum bis jalan, perempuan itu menyodorkan tiga buah apel kepada anak saya. Saya kaget. Seolah perempuan itu tahu bahwa anak saya sedang menginginkan apel. Anak saya langsung memakannya dengan lahap. Saya melihat nikmatnya anak saya makan apel itu dengan linangan air mata. Saya tak bisa membelikan buah itu, tapi Allah tahu tentang keinginan anak saya. Sehingga lewat perempuan itu dia dapat menikmati apel. Betul-betul tidak saya sangka sebelumnya. Betul-betul di luar jangkauan nalar saya.

Sampai di rumah orang tua, saya lebih kaget lagi. Saya sama sekali tidak membayangkan saudara-saudara saya akan berkerumun menemui saya. Dan mereka seolah berlomba memberikan uang kepada anak saya. Sampai nenek saya yang seharusnya saya beri uang justru memberikan rupiah kepada anak saya. Seolah mereka tahu bahwa kami sedang tidak mempunyai uang. Seolah mereka tahu bahwa saya ada dalam keadaan sangat kesulitan dalam hal keuangan.

Sepulang dari rumah bapak ibu saya, saku celana dan baju anak saya tak ada yang kosong dari lembaran-lembaran uang. Ahirnya uang itu bisa dipergunakan anak saya untuk membeli baju bola yang sejak lama ia inginkan. Bisa membeli buah apel dan bakso di pasar. Dan yang lebih mengharukan adalah bisa membantu saya untuk mengisi arisan di lingkungan RT saya.

Sambil melihat anak saya menikmati semangkok bakso, saya hanya bisa bergumam, bahwa rizki Allah datang selalu tak terduga. Walaupun saya sedang tidak punya usaha, karena sedang mengalami kebangkrutan, tapi Allah tetap menyodorkan rizki kepada kami.

Sebuah keyakinan tentang ke-maha besar-an Allah, ahirnya tumbuh kembali. Puing-puing kesusahan hidup dan keraguan tentang rizki Allah semakin terpendam. Apalagi kalau mengingat firman Allah, - Dan tak ada suatu binatang melatapun di muka bumi ini melainka Allah lah yang memberi rezekinya-, maka keraguan itu makin tidak ada. Sayang seribu sayang, hamba yang kecil ini masih begitu gampang dan mudah dihinggapi rasa ketakutan tidak kebagian rizki.

Artikel ini dikutip dari penulis Sus Woyo

Mukadimah

Syukur alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah S.W.T Robb semesta alam karena kita masih diberikan nikmat sehat jasmani dan rohani dan tak lupa sholawat dan salam dihaturkan kepada Baginda Rosulullah S.A.W beserta keluarganya, para sahabat dan para pengikutnya hingga akhir Zaman...

Blog ini di buat untuk sarana belajar saya dalam berkreatifitas sehari-sehari, semoga dapat bermanfaat khususnya untuk saya dan semua yang membaca blog saya ini.



Wasalam
Design Header by:
Parta Suwanda